Kisah Singkat

Bapak Doerakim (anak pertama dari 7 bersaudara) berasal dari Kampung Lawang Seketeng Surabaya, menikah dengan ibu Alimah (anak pertama dari 12 bersaudara) dari Undaan Kulon Surabaya pada 12 Januari 1919. Tak lama setelah putra keduanya lahir, pada 9 Nopember 1926, keluarga Doerakim pindah dari Undaan Kulon ke Peneleh gang XII. Hanya 2 tahun menetap di Peneleh kemudian pada 17 September 1928 mereka pindah ke Klimbungan IV/29.

Pada tanggal 22 Agustus 1936, keluarga yang sudah mempunyai 6 orang putra itu pindah ke rumah di sebelah baratnya yaitu Klimbungan IV/39. Di rumah itu sempat dianugrahi 3 orang putra lagi. Putra ke-7 dan ke-8 tidak berumur panjang, masing-masing Soetrisno (16 Juli 1938 – 30 Oktober 1938) dan Soemiati (31 Oktober 1939 – 28 Januari 1944).

Pada saat perang kemerdekaan, tahun 1945 – 1948, keluarga Doerakim sempat mengungsi ke Mojokerto, Jombang, Madiun dan kembali ke Jombang. Sewaktu masa pengungsian di Madiun, keluarga ini dianugrahi putra yang bungsu, ke-10 yang diberi nama Soemiati (seperti almarhum kakaknya). Disaat kota Jombang jatuh ketangan Belanda, keluarga Doerakim tidak mengungsi lagi tetapi malah masuk ke daerah pendudukan Belanda dan akhirnya kembali menempati rumah Klimbungan IV/39 Surabaya.

Sepanjang hidupnya bapak Doerakim bekerja di kantor PTT (Pos, Telegraph dan Telepon), yaitu sejak 14 Mei 1914 sampai 31 Desember 1955. Beliau pernah menerima surat pernyataan Penghargaan Terimakasih dari Direktur Jenderal Pos, Telegraph dan Telepon, Mr.R. Soekardan pada 20 Desember 1955. Semasa hidupnya bapak Doerakim dikenal teman-temannya sebagai seorang pemain sepak bola yang baik. Ia orang pribumi pertama yang berhasil masuk ke perkumpulan sepak bola HBS. Disamping itu, hobby mencatat peristiwa penting yang ada di sekitarnya menjadikan ia sebagai tempat untuk bertanya bagi saudara-saudaranya yang ingin mengingat kejadian-kejadian kelahiran, perkawinan, pindah rumah dan sebagainya.

Almarhum ibu Alimah adalah seorang ibu rumah tangga sejati. Beliau selalu mendampingi bapak Doerakim, mengasuh dan mendidik putra-putranya dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.

Bapak doerakim dipanggil Allah SWT (1965), lebih dulu dari ibu Alimah (1974). Kedua-duanya wafat di kediaman Klimbungan IV/39 Surabaya dan dimakamkan di pemakaman umum Tembok Gede di Surabaya.